Minggu, 02 Oktober 2011

Enuresis

2.1. Definisi
Enuresis berasal dari bahasa Yunani en-, yang berarti “di dalam” dan ouron, yang berarti “urine”. Enuresis adalah kegagalan untuk mengontrol BAK setelah seseorang mencapai usia “normal untuk mampu melakukan kontrol.”
Enuresis dapat  terjadi selama tidur malam saja, selama anak terjaga, atau keduanya. Enuresis saat tidur malam saja adalah tipe yang paling umum, dan enuresis yang muncul saat tidur disebut mengompol. Melakukan kontrol kemih pada malam hari lebih sulit dari pada melakukannya pada siang hari. Bila tidur malam hari, anak- anak harus belajar untuk bangun bila mereka merasa ada tekanan dari kemih yang penuh dan kemudian pergi ke kamar mandi atau untuk BAK, hal ini merupakan suatu kesulitan bagi anak-anak, maka  makin besar kemungkinannya ia akan mengompol. Bagi anak- anak yang sudah bisa melakukan kontrol pada siang hari namun tetap mengompol pada malam hari  dapat mencerminkan ketidakmatangan dari sistem saraf, namun masih dianggap normal bila terjadi sebelum usia 5 tahun.
Diagnosis enuresis diterapkan pada kasus- kasus mengompol di tempat tidur atau BAK di pakaian pada siang hari yang dilakukan berulang kali. Konsepsi tentang usia berapa yang normal untuk mencapai kontrol dapat berbeda di antara pakar klinis, namun yang banyak disepakati adalah bila ini terjadi  pada anak- anak yang berusia minimal 5 tahun.
2.2. Epidemiologi
Enuresis, seperti halnya gangguan perkembangan lain, lebih sering terjadi pada anak laki- laki. Enuresis diperkirakan memperngaruhi 7% anak laki- laki dan 3% anak perempuan usia 5 tahun. Gangguan ini biasanya hilang dengan sendirinya pada usia remaja atau sebelumnya, walaupun pada 1 kasus masalah ini berlanjut sampai dewasa (APA, 2000).
Manurut Isle of Wight Study menunjukkan data anak (usia 7  tahun) mengalami 15,2% enuresis < 1x dalam 1 minggu,  6,7% mengompol minimal 1x dalam seminggu atau lebih. Sedangkan anak (usia 7 tahun) mengalami  12,2% mengompol < 1x dalam 1 minggu, 3,3% mengompol minimal 1x dalam seminggu atau lebih.
Menurut informasi yang didapatkan dari Kaplan menyebutkan bahwa enuresis terjadi 80% pada anak berusia 2 tahun, 49% pada anak berusia 3 tahun, 36% pada anak berusia 4 tahun, dan 7 % apda anak berusia 5 tahun.
Gangguan mental ditemukan hanya pada kira-kira 20% anak enuresis dan tersering pada ank perempuan, pada anak dengan gejala siang dan malam hari, dan pada anak yang gejalanya bertahan sampai usia yang lebih besar.
2.3. Etiologi
Penyebab enuresis belum diketahui secara pasti.  Beberapa penelitian mengemukakan beberapa faktor yang diduga sebagai penyebab enuresis, seperti keterlambatan matangnya fungsi susunan saraf pusat (SSP), faktor genetik, gangguan tidur (deep sleep), kadar ADH (Anti Diuretic Hormone) dalam tubuh yang kurang, kelainan anatomi (ukuran kandung kemih yang kecil), stres kejiwaan, kondisi fisik yang terganggu, dan alergi.
Kontrol kandung kemih yang normal dicapai dengan bertahap dan dipengaruhi oleh perkembangan neuromuskular dan kognitif, faktor sosioekonomi, dan kemungkinan faktor genetik. Kesulitan dapat salah satu atau beberapa bidang tersebut dapat memperlambat kontinensia urine.
Kandung kemih pada anak usia sekolah normalnya mampu menahan 300-350 ml cairan / urin semalam selama tidur. Kapasitas fungsional kandung kemih yang kecil, menyebabkan kandung kemih tidak dapat menampung sejumlah urin yang diproduksi malam hari.
Sebuah penelitian menunjukkan bahwa enuresis tipe primer dapat terjadi karena faktor keturunan. Penelitian lain yang dilakukan pada 11 keluarga penderita enuresis, telah berhasil mengidentifikasi gen yang diduga dapat menyebabkan enuresis.
Menurut sleep theory, berawal dari laporan orang tua, anak yang mengalami enuresis biasanya tidur mendengkur dan sulit untuk dibangunkan atau mengalami deep sleep. Namun, penelitian selanjutnya dengan menggunakan elektroensefalografi menyatakan bahwa tidur yang dalam tidak menyebabkan enuresis. Penelitian urodinamik yang menyatakan bahwa anak yang mengalami enuresis tipe nocturnal sering menunjukkan ketidakmampuan dalam mencegah kontraksi kandung kemih dan mempunyai kapasitas fungsional kandung kemih yang lebih kecil daripada anak yang tidak mengalami enuresis.
Stressor psikososial tampaknya mencetuskan beberapa kasus enuresis. Pada anak kecil, gangguan terutama berhubungan dengan kelahiran adik, perawatan di rumah sakit antara usia 2 dan 4 tahun, mulai sekolah, kehancuran keluarga karena perceraian atau kematian dan pindah ke rumah baru.   
2.4. Jenis Enuresis
Pembagian enuresis yang biasa terjadi pada anak-anak adalah sebagai berikut :
·         Enuresis primer:
Anak yang tidak pernah kontinensia selama > 1 tahun.
·         Enuresis sekunder:
Anak yang mencapai kontinensia selama > 1 thn atau lebih lama lagi & kemudian hilang.
·         Nocturnal
Episode terjadinya hanya pada malam hari.
·         Diurnal:
Episode terjadinya pada siang hari.

Kebanyakan anak-anak  hanya mengalami enuresis nocturnal. Tapi ada juga yang enuresis diurnal atau kombinasi keduanya.
2.5. Gambaran klinis dan kriteria diagnosis
Enuresis adalah pengeluaran urin berulang kali kedalam pakaian pasien atau tempat tidur, miksi mungkin tidak disadari atau tidak disengaja.
Kriteria diagnosis dari Enuresis sesuai DSM- IV :
  • Anak berulang kali mengompol di tempat tidur atau pakaian (baik disengaja maupun tidak).
  • Usia kronologis anak minimal 6 tahun (atau anak berada pada tingkat perkembangan yang setara).
  • Perilaku tersebut muncul setidaknya dua kali seminggu selama 3 bulan, atau menyebabkan hendaya yang signifikan dalam fungsi atau distres.
  • Gangguan ini tidak memiliki dasar organik.

Kriteria diagnosis enuresis non organic menurut ICD-10 :

  • Usia kronologis dan usia mental anak minimal 5 tahun.
  • BAK yang involunter atau yang disengaja di atas tempat tidur atau pakaian terjadi min. 2x/bulan pada anak2 yang usianya < 7 tahun, dan min. 1x/bulan pada anak2 yang usianya ≥ 7 tahun.
  • Enuresis bukan merupakan akibat dari suatu serangan epilepsi atau inkontinensia neurologis dan bukan suatu akibat langsung dari abnormalitas struktur traktus urinarius atau kondisi medis nonpsikiatrik lainnya.
  • Tidak terdapat bukti dari gangguan psikiatri lainnya yang memenuhi kriteria untuk kategori ICD10 lainnya.
  • Durasi untuk gangguan ini minimal 3 bulan.

2.6. Diagnosis Banding
Penyebab organic yang mungkin dari enuresis harus disingkirkan. Ciri organic paling sering ditemukan pada anak-anak dengan enuresis nocturnal maupun diurnal yang dikombinasikan dengan frekuensi dan urgensi urine. Ciri organic adalah :
·         Patologi genitor urinarius, baik dalam structural, neurologis, dan infeksi, seperti uropati obstruktif, spinabifida okulta, dan sistitis.
·         Gangguan organic lain yang dapat menyebabkan poliuria dan enuresis seperti diabetes mellitus dan diabetes insipidus.
·         Ganguan kesadaran dan tidur seperti kejang, intoksikasi, dan gangguan tidur jalan.
·         Efek samping terapi dengan anti psikotik contohnya thioricazine.
·         Enuresis yang disengaja,  berkaitan dengan masalah psikologis.
·         Komorbid dengan ADHD.

2.7. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang penting untuk menegakkan diagnosis dan menyingkirkan diagnosis banding adalah :
·         Urinalisis, dilakukan setiap evaluasi.
·         Rontgen dengan kontras untuk mendeteksi kelainan anatomi atau fisiologis, perlu pertimbangan karena pemeriksaan ini invasive. Ditemukan 3,7% insidens lesi obstruktif.

2.8. Penatalaksanaan
·         Toilet treaning
Latihan toilet yang tepat dengan dorongan dari orang tua harus diusahakan, terutama pada enuresis dimana gangguan tidak didahului oleh periode kontinensia urin. Jika latihan  toilet belum pernah dicoba, orang tua dan pasien harus dibantu dalam melakukannya. Catatan dapat menolong dalam keadaan dasar dan mengikuti perkembangan anak serta catatan pribadi untuk anak dapat membant. Misalnya dengan memberikan kartu bintang. Teknik lain yang digunakan untuk latihan toilet ini adalah dengan membatasi asupan cairan sebelum tidur dan latihan pergi ketoilet di malam hari.

·         Terapi perilaku.
Pembiasaan klasik dengan perangkat bel (buzzier) dan pelapis biasanya merupakan terapi yang paling efektif untuk enuresis. Remisi dapat dihasilkan lebih dari 50% kasus. Terapi ini sama efektifnya pada anak dengan atau tanpa gangguan mental penyerta, dan tidak terdapat bukti substitusi gejala. Kesulitan dapat berupa ketidak patuhan anak dan keluaraga, pemakain perangkat yang tidak tepat, dan relaps.
Latihan menahan atau menunda miksi dengan waktu yang semakin panjang diberikan hadiah, tapi kadang metode ini kurang efektif.
Metode lain yang dapat dilakukan adalah dengan memberi anak  tanggung jawab untuk membersihkan dan mencuci alas tidurnya yang terkena ngompolnya, serta cara lain yang membuat anak merasa bertanggung jawab untuk menghilangkan kebiasaannya ini.
·         Psikoterapi
Berguna untuk memperbaiki beberapa masalah perilaku yang terkait terutama enuresis sekunder, biasanya terjadi setelah kehilangan ortu (meninggal atau perceraian). Selain itu perlu dicari apakah ada penyebab lain yang membuat anak bermasalah dalam pergaulannya sehari-hari, apabila ada maka perlu untuk mengatasi atau membantu anak menyelesaikannya, karena ini bisa menjadi faktor pencetus untuk terjadinya enuresis pada anak.
·         Farmakologi.
Obat jarang digunakan, terapi dengan obat  merupakan usaha terakhir pada pasien yang tidak dapat disembuhkan yang menyebabkan kesulitan emosional serius bagi penderitanya.
Imipramin (Tofranil) bermanfaat dan telah diizinkan dalam mengobati enuresis masa anak-anak, terutama untuk jangka pendek. 30% pasien enuresis dapat menjadi sembuh dan 85% pasien akan mengalami enuresis yang lebih ringan dibandingkan sebelum terapi. Tetapi kesembuhan pada pasien jarang berlangsung lama, jika obat dihentikan, dapat terjadi relaps dengan frekuensi sama seperti sebelumnya. Namun perlu berhati-hati dalam pemakaian obat karena memiliki efek kardiotoksik.
Desmopressin (DDAVP) suatu senyawa anti diuretic yang tersedia sebagai sprai intranasal, telah menunjukan keberhasilan awal  dalam mengobati enuresis.

2.9. Perjalanan Penyakit dan Prognosis
·         Selflimited disorder.
Enuresis biasanya berhenti sendir. Anak akhirnya dapat tetap kering tanpa sekuele psikiatrik. Sebagian besar anak akan merasakan peningkatan harga diri dan perbaikan keyakinan social jika mereka menjadi kontinen.
·         Prevalensi relatif tinggi antara usia 5-7 tahun,  menurun pada usia yang lebih besar & hanya beberapa saja yang menetap sampai dewasa.
Kira-kira 80% anak yang terkena tidak pernah mencapai periode kontinen selama setahun perjalanan penyakit. Apabila enuresis masih terjadi pada usia lebih dari 8 tahun maka penyebab organic harus dicari. Relaps dapat terjadi pada penderita enuresis yang sembuh secara spontan dan pada mereka yang sedang diobati.

Menurut DSM IV :
·         Angka remisi 5-10% per tahun setelah usia 5 tahun.
·         Usia puncak untuk enuresis sekunder antara usia 5-8 tahun

Rabu, 21 September 2011

Pasir Talang


A. ORBITASI

Nagari                                     : Pasir Talang
Kondisi Nagari          :
Batas – batas nagari antara lain :
Utara berbatas dengan            : Kecamatan Koto Parik Gadang Diateh
Selatan berbatas dengan         : Nagari Pasir Talang Barat
Barat berbatas dengan            : Kabupaten Pesisir Selatan
Timur berbatas dengan               : Nagari Pasir Talang Timur dan Kabupaten Sawah Lunto Sijunjung
Luas Wilayah Nagari              : 5.349 KM 2
Tofografi Nagari                     : Dataran Rendah
Suhu udara rata-rata                : 21.0 C – 33.0 C
Jumlah Penduduk                   : 3.529 Jiwa
Jumlah Laki-laki                      : 1.774 Orang
Jumlah Perempuan                  : 1.785 Orang
Jumlah KK                              :    900 Orang
Jumlah Jorong                         : 5 Buah Jorong
Curah Hujan                            : 5.232 MM/Tahun
Kemiringan                             : 0-15 %
Orbitasi                       :
- Jarak dari Ibukota Propinsi                     : + 130 KM
- Jarak dari Ibukota Kabupaten                : + 35 KM
- Jarak dari Ibukota Kecamatan                : 0 KM ( Ada dalam Kecamatan )

Kondisi Ekonomi

a.       Potensi Unggulan : Padi dan Karet
Pertumbuhan Ekonomi masyarakat Nagari Pasir Talang tahun 2010 rata-rata meningkat 3 % pertahun.

Selasa, 14 Juni 2011

Obat Golongan Analgetik Opioid

Definisi
            Opioid adalah semua zat baik sintetik atau natural yang dapat berikatan dengan reseptor morfin. Opioid disebut juga sebagai anlgetika narkotikayang sering dalam anesthesia untuk mengendalikan nyeri saat pembedahan dan nyeri pasca pembedahan. Malahan kadang-kadang digunakan untuk anesthesia narkotik total pada pembedahan jantung. 2

2.2 Jenis Analgetik Opioid
            Berdasarkan struktur kimia, analgetik opioid di bedakan menjadi 3 kelompok : 1
1.      Alkaloid opium (natural) : morfin dan kodein
2.      Derivate semisintetik : diasetilmorfin (heroin), hidromorfin, oksimorfon, hidrokodon, dan oksikodon.
3.      Derifat sintetik
·         Fenilpiperidine : petidin, fentanil, dan alfentanil.
·         Benzmorfans : pentazosin, fenazosin dan siklasozin.
·         Morfinans : lavorvanol
·         Propionanilides : metadon
·         Tramadol

2. 3 Reseptor – Reseptor Opioid1,2
            Sebagai analgetik, opioid bekerja secara sentral pada reseptor – reseptor opioid yang diketahui ada 4 reseptor, yaitu :
1.      Reseptor Mu
Morfin bekerja secara agonis pada reseptor ini. Stimilasi pada reseptor ini akan menimbulkan analgesia, rasa segar, euphoria dan depresi respirasi.

2.      Reseptor Kappa
Stimulasi reseptor ini menimbulkan analgesia, sedasi dan anesthesia. Morfin bekerja pada reseptor ini.

3.      Reseptor Sigma
Stimulasi reseptor ini menimbulkan perasaan disforia, halusinasi, pupil medriasis, dan stimulasi respirasi.

4.      Reseptor Delta
Pada manusia peran reseptor ini belum diketahui dengan jelas. Diduga memperkuat reseptor Mu.

2.4 Efek Farmakologi
            Golongan opioid yang sering digunakan sebagai obat premedikasi pada anestesi adalah : petidin dan morfin. Sedangkan fentanil digunakan sebagai suplemen anesthesia.1
2.4.1 Terhadap susunan saraf pusat
            Sebagai analgetik, obat ini bekerja pada thalamus dan substansia gelatinosa medulla spinalis, di samping itu, narkotik juga mempunyai efek sedasi.1,2

2.4.2 Terhadap respirasi
            Menimbu;lkan depresi pusat nafas terutama pada bayi dan orang tua. Efek ini semakin manifest pada keadaan umum pasien yang buruk sehingga perlu pertimbangan seksama dalam penggunaanya. Namun demikian efek ini dapat dipulihkan dengan nalorpin atau nalokson.1,2,3
            Terhadap bronkus, petidin menyebabkan dilatasi bronkus, sedangakan morfin menyebabkan konstriksi akibat pengaruh pelepasan histamine.4

2.4.3 Terhadap sirkulasi1
            Tidak menimbulkan depresi system sirkulasi, sehingga cukup aman diberikan pada semua pasien kecuali bayi dan orang tua.
            Pada kehamilan, opiod dapat melewati bairer plasenta sehingga bisa menimbulkan depresi nafas pada bayi baru lahir.

2.4.4 Terhadap system lain1
            Merangsang pusat muntah, menimbulkan spasme spinter kandung empedu sehingga menimbulkan kolik abdomen. Morfin merangsang pelepasa histamine sehingga bisa menimbulkan rasa gatal seluruh tubuh atu minimal pada daerah hidung, sedangkan petidin, pelepasan histaminnya bersifat local ditempat suntikan.

A.    MORFIN
Meskipun morfin dapat dibuat secara sintetik, tetapi secara komersial lebih mudah dan menguntungkan, yang dibuat dari bahan getah papaver somniferum. Morfin paling mudah larut dalam air dibandingkan golongan opioid lain dan kerja analgesinya cukup panjang (long acting).1,2
Efek kerja dari morfin (dan juga opioid pada umumnya) relatife selektif, yakni tidak begitu mempengaharui unsur sensoris lain, yaitu rasa raba, rasa getar (vibrasi), penglihatan dan pendengaran ; bahkan persepsi nyeripun tidak selalu hilang setelah pemberian morfin dosis terapi.2,3

Efek analgesi morfin timbul berdasarkan 3 mekanisme ; (1) morfin meninggikan ambang rangsang nyeri ; (2) morfin dapat mempengaharui emosi, artinya morfin dapat mengubah reaksi yang timbul dikorteks serebri pada waktu persepsi nyeri diterima oleh korteks serebri dari thalamus ; (3) morfin memudahkan tidur dan pada waktu tidur ambang rangsang nyeri meningkat.2

Farmakodinamik
Efek morfin terjadi pada susunan syaraf pusat dan organ yang mengandung otot polos. Efek morfin pada system syaraf pusat mempunyai dua sifat yaitu depresi dan stimulasi. Digolongkan depresi yaitu analgesia, sedasi, perubahan emosi, hipoventilasi alveolar. Stimulasi termasuk stimulasi parasimpatis, miosis, mual muntah, hiper aktif reflek spinal, konvulsi dan sekresi hormone anti diuretika (ADH).2

Farmakokinetik
Morfin tidak dapat menembus kulit utuh, tetapi dapat menembus kulit yang luka. Morfin juga dapat mmenembus mukosa. Morfin dapat diabsorsi usus, tetapi efek analgesik setelah pemberian oral jauh lebih rendah daripada efek analgesik yang timbul setelah pemberian parenteral dengan dosis yang sama. Morfin dapat melewati sawar uri dan mempengaharui janin. Ekresi morfin terutama melalui ginjal. Sebagian kecil morfin bebas ditemukan dalam tinja dan keringat.2


Indikasi
Morfin dan opioid lain terutama diidentifikasikan untuk meredakan atau menghilangkan nyeri hebat yang tidak dapat diobati dengan analgesik non-opioid. Lebih hebat nyerinya makin besar dosis yang diperlukan. Morfin sering diperlukan untuk nyeri yang menyertai ; (1) Infark miokard ; (2) Neoplasma ; (3) Kolik renal atau kolik empedu ; (4) Oklusi akut pembuluh darah perifer, pulmonal atau koroner ; (5) Perikarditis akut, pleuritis dan pneumotorak spontan ; (6) Nyeri akibat trauma misalnya luka bakar, fraktur dan nyeri pasca bedah.3

Efek samping
Efek samping morfin (dan derivat opioid pada umumnya) meliputi depresi pernafasan, nausea, vomitus, dizzines, mental berkabut, disforia, pruritus, konstipasi kenaikkan tekanan pada traktus bilier, retensi urin, dan hipotensi.

Dosis dan sediaan
Morfin tersedia dalam tablet, injeksi, supositoria. Morfin oral dalam bentuk larutan diberikan teratur dalam tiap 4 jam. Dosis anjuran untuk menghilangkan atau mengguranggi nyeri sedang adalah 0,1-0,2 mg/ kg BB. Untuk nyeri hebat pada dewasa 1-2 mg intravena dan dapat diulang sesuai yamg diperlukan.2

B.      PETIDIN
Petidin ( meperidin, demerol) adalah zat sintetik yang formulanya sangat berbeda dengan morfin, tetapi mempunyai efek klinik dan efek samping yang mendekati sama. Secara kimia petidin adalah etil-1metil-fenilpiperidin-4-karboksilat.2

Farmakodinamik
Meperidin (petidin) secara farmakologik bekerja sebagai agonis reseptor m (mu). Seperti halnya morfin, meperidin (petidin) menimbulkan efek analgesia, sedasi, euforia, depresi nafas dan efek sentral lainnya. Waktu paruh petidin adalah 5 jam. Efektivitasnya lebih rendah dibanding morfin, tetapi leih tinggi dari kodein. Durasi analgesinya pada penggunaan klinis 3-5 jam. Dibandingkan dengan morfin, meperidin lebih efektif terhadap nyeri neuropatik. 2
Perbedaan antara petidin (meperidin) dengan morfin sebagai berikut :
1. Petidin lebih larut dalam lemak dibandingkan dengan morfin yang larut dalam air.
2. Metabolisme oleh hepar lebih cepat dan menghasilkan normeperidin, asam meperidinat dan asam normeperidinat. Normeperidin adalah metabolit yang masih aktif memiliki sifat konvulsi dua kali lipat petidin, tetapi efek analgesinya sudah berkurang 50%. Kurang dari 10% petidin bentuk asli ditemukan dalam urin.
3. Petidin bersifat atropin menyebabkan kekeringan mulut, kekaburan pandangan dan takikardia.
4. Seperti morpin ia menyebabkan konstipasi, tetapi efek terhadap sfingter oddi lebih ringan.
5. Petidin cukup efektif untuk menghilangkan gemetaran pasca bedah yang tidak ada hubungannya dengan hipiotermi dengan dosis 20-25 mg i.v pada dewasa. Morfin tidak.
6. Lama kerja petidin lebih pendek dibandingkan morfin.

Farmakokinetik2
Absorbsi meperidin setelah cara pemberian apapun berlangsung baik. Akan tetapi kecepatan absorbsi mungkin tidak teratur setelah suntikan IM. Kadar puncak dalam plasma biasanya dicapai dalam 45 menit dan kadar yang dicapai antar individu sangat bervariasi. Setelah pemberian meperidin IV, kadarnya dalam plasma menurun secara cepat dalam 1-2 jam pertama, kemudian penurunan berlangsung lebih lambat. Kurang lebih 60% meperidin dalam plasma terikat protein. Metabolisme meperidin terutama dalam hati. Pada manusia meperidin mengalami hidrolisis menjadi asam meperidinat yang kemudian sebagian mengalami konyugasi. Meperidin dalam bentuk utuh sangat sedikit ditemukan dalam urin. Sebanyak 1/3 dari satu dosis meperidin ditemukan dalam urin dalam bentuk derivat N-demitilasi.
Meperidin dapat menurunkan aliran darah otak, kecepatan metabolik otak, dan tekanan intra kranial. Berbeda dengan morfin, petidin tidak menunda persalinan, akan tetapi dapat masuk kefetus dan menimbulkan depresi respirasi pada kelahiran.

Indikasi
Meperidin hanya digunakan untuk menimbulkan analgesia. Pada beberapa keadaan klinis, meperidin diindikasikan atas dasar masa kerjanya yang lebih pendek daripada morfin. Meperidin digunakan juga untuk menimbulkan analgesia obstetrik dan sebagai obat preanestetik, untuk menimbulkan analgesia obstetrik dibandingkan dengan morfin, meperidin kurang karena menyebabkan depresi nafas pada janin.2,3,4


Dosis dan sediaan
Sediaan yang tersedia adalah tablet 50 dan 100 mg ; suntikan 10 mg/ml, 25 mg/ml, 50 mg/ml, 75 mg/ml, 100 mg/ml. ; larutan oral 50 mg/ml. Sebagian besar pasien tertolong dengan dosis parenteral 100 mg. Dosis untuk bayi dan anak ; 1-1,8 mg/kg BB.2

Efek samping
Efek samping meperidin dan derivat fenilpiperidin yang ringan berupa pusing, berkeringat, euforia, mulut kering, mual-muntah, perasaan lemah, gangguan penglihatan, palpitasi, disforia, sinkop dan sedasi.1,2,3,4

C.     FENTANIL
Fentanil adalah zat sintetik seperti petidin dengan kekuatan 100 x morfin. Fentanil merupakan opioid sintetik dari kelompok fenilpiperedin. Lebih larut dalam lemak dan lebih mudah menembus sawar jaringan.2,3

Farmakodinamik
Turunan fenilpiperidin ini merupakan agonis opioid poten. Sebagai suatu analgesik, fentanil 75-125 kali lebih potendibandingkan dengan morfin. Awitan yang cepat dan lama aksi yang singkat mencerminkan kelarutan lipid yang lebih besar dari fentanil dibandingkan dengan morfin. Fentanil (dan opioid lain) meningkatkan aksi anestetik lokal pada blok saraf tepi. Keadaan itu sebagian disebabkan oleh sifat anestetsi lokal yamg lemah (dosis yang tinggi menekan hantara saraf) dan efeknya terhadap reseptor opioid pada terminal saraf tepi. Fentanil dikombinasikan dengan droperidol untuk menimbulkan neureptanalgesia.2

Farmakokinetik
Setelah suntikan intravena ambilan dan distribusinya secara kualitatif hampir sama dengan dengan morfin, tetapi fraksi terbesar dirusak paru ketika pertama kali melewatinya. Fentanil dimetabolisir oleh hati dengan N-dealkilase dan hidrosilasidan, sedangkan sisa metabolismenya dikeluarkan lewat urin.2



Indikasi
Efek depresinya lebih lama dibandingkan efek analgesinya. Dosis 1-3 /kg BB analgesianya hanya berlangsung 30 menit, karena itu hanya dipergunakan untuk anastesia pembedahan dan tidak untuk pasca bedah. Dosis besar 50-150 mg/kg BB digunakan untuk induksi anastesia dan pemeliharaan anastesia dengan kombinasi bensodioazepam dan inhalasi dosis rendah, pada bedah jantung. Sediaan yang tersedia adalah suntikan 50 mg/ml.1,2,3,4

Efek samping
Efek yang tidak disukai ialah kekakuan otot punggung yang sebenarnya dapat dicegah dengan pelumpuh otot. Dosis besar dapat mencegah peningkatan kadar gula, katekolamin plasma, ADH, rennin, aldosteron dan kortisol.
Obat terbaru dari golongan fentanil adalah remifentanil, yang dimetabolisir oleh esterase plasma nonspesifik, yang menghasilkan obat dengan waktu paruh yang singkat, tidak seperti narkotik lain durasi efeknya relatif tidak tergantung dengan durasi infusinya.

D.    ANTAGONIS
Nalokson
            Nalokson adalah antagonis murni opioid dan bekerja pada reseptor Mu, delta, Kappa, dan Sigma. Pemberian nalokson pada pasien setelah amendapat morfin akan terlihat laju nafas meningkat, kantuk menghilang, pupil mata dilatasi, tekanan darah kalau sebelumnya rendah akan meningkat.1,2,3,4
            Nalokson biasanya digunakan untuk melawan depresi nafas pada akhir pembedahan dengan dosis dicicil 1-2 mikrogram/kgBB intravena dan dapat diulang tiap 3-5 menit, sampai ventilasi dianggap baik. Dosis lebih dari 0,2 mg jarang digunakan. Dosis intramuscular 2x dosis intravena. Pada keracunan opioid naloksondapat diberikan per-infus dosis 3-10µg/kgBB.2
            Untuk depresi napas neonates yang ibunya mendapat opioid berikan nalokson 10 µg/kgBB dan dapat diulang setelah 2 menit. Biasanya 1 ampul nalokson 0,4 mg diencerkan sampai 10ml, sehingga tiap ml mengandung 0,04 mg.2




Naltrekson
            Naltrekson merupakan antagonis opiod kerja panjang yang biasanya diberikan peroral, pada pasien dengan ketergantungan opioid. Waktu paro plasma 8-12 jam. Pemberian per oral dapat bertahan sampai 24 jam. Naltrekson per oral 5 atau 10 mg dapat mengurangi pruritus, mual muntah pada analgesia epidural saat persalinan, tampa menghilangkan efek analgesianya.2

KEMASAN1
1.      Petidin dalam bentuk ampul 2 ml yang mengandung 50 mg/ml tidak berwarna.
2.      Fentanyl dikemas steril dalam bentuk ampul 2 ml dan 10 ml yang tiap ml-nya mengandung 50 mikrogram.
3.      Morfin dalam bentuk ampul 1 ml yang mengandung 10 atau 20 mg, tidak berwarna dan bisa dicampur dengan obat lain.